PENDAHULUAN
Latar Belakang
Limbah sebagai sisa-sisa produksi yang tidak terpakai keberadaannya saat ini masih menjadi biang permasalahan. Berbagai macam bentuk limbah yang dihasilkan baik berupa cair, padat, maupun gas belum ditangani secara baik sehingga limbah yang seharusnya didaur ulang telah menjadi sumber pencemaran. Limbah tidak hanya dihasilkan dari dunia industri saja melainkan juga dari sektor pertanian.
Pesatnya pembangunan pertanian dalam rangka pengembangan agribisnis dan agroindustri yang berkesinambungan ini telah mendorong pertumbuhan sektor pertanian tetap terjadi peningkatan. Begitu pula halnya yang terjadi pada subsektor peternakan, meskipun saat ini Indonesia tengah menghadapi krisis, peternakan Indonesia masih tetap eksis bahkan menunjukkan peningkatan. Namun disisi lain, peningkatan produksi ternak secara tidak langsung tersebut juga menimbulkan ekses (dampak) negatif. Diantaranya adalah limbah yang dihasilkan dari ternak itu sendiri.
Disadari atau tidak, limbah peternakan ini selain mengganggu lingkungan sekitar, juga dapat menimbulkan bibit penyakit bagi manusia. Kotoran yang dihasilkan ternak itu ada dua macam yaitu pupuk kandang segar dan pupuk kandang yang telah membusuk. Pupuk kandang segar merupakan kotoran yang dikeluarkan hewan ternak sebagai sisa proses makanan yang disertai urine dan sisa-sisa makanan lainnya. Sedangkan pupuk kandang yang telah membusuk adalah pupuk kandang yang telah disimpan lama sehingga telah mengalami proses pembusukan atau penguraian oleh jasad renik (mikroorganisme) yang ada dalam permukaan tanah. Hal inilah yang melatarbelakangi diadakannya praktikum Manajemen Ternak Perah mengenai Pembuatan Pupuk Kompos.
Rumusan Masalah
Dalam penyusunan/pembuatan laporan ini, terdapat beberapa masalah yang ingin dibahas, antaralain :
1. Bagaimana gambaran umum popok kompos ?
2. Apa saja kandungan unsur hara limbah kotoran ?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pupuk kompos ?
4. Bagaimana hasil pengukuran pupuk kompos berdasarkan suhu, warna dan baunya?
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari diadakannya praktikum Manajemen Ternak Perah mengenai Pembuatan Pupuk Kompos adalah untuk memanfaatkan limbah organik ternak sebagai sumber daya alam yang berdaya guna tinggi (pupuk organik) dan untuk mengurangi polusi lingkungan yang diakibatkan oleh ternak.
Adapun kegunaan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat memanfaatkan limbah organik ternak menjadi pupuk kompos sehingga tidak dipandang sebagai sampah dan polusi lingkungan.
METODOLOGI PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum Manajemen Ternak Perah mengenai Pembuatan Pupuk Kompos dilaksanakan pada hari/tanggal 12 April - 18 April 2008, dilakukan pada sore hari pukul 16.00 WITA, bertempat di Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Materi Praktikum
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sekop, ember, thermometer, pulpen dan gerobak.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah feses, dedak, serbuk gergaji, abu gosok, molasses, EM-4 (Effective Microorganism-4), sabun detol dan air secukupnya.
Metode Praktikum
Prosedur kerja dari pembuatan pupuk kompos diutarakan sebagai berikut :
1. Melarutkan EM-4 dan molasses ke dalam air.
2. Feses, serbuk gergaji, abu gosok dan dedak dicampur secara merata.
3. Menyiramkan larutan EM-4 secara perlahan-lahan ke dalam campuran secara merata sampai kandungan air mencapai 30-50%. Bila campuran dikepal dengan tangan, dan air tidak keluar dari campuran dan bila kepalan dilepas, maka campuran akan mekar. Campuran lalu ditumpuk di atas lantai yang kering dan ditutup dengan plastik atau terpal selama 5-7 hari.
4. Pertahankan suhu tumpukan 40-50oC. Jika lebih dari 50oC, penutup dibuka dan tumpukan dibolak-balik kemudian ditutup lagi. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan bokashi menjadi rusak karena terjadi proses pembusukan. Pengecekan suhu dilakukan setiap 5 jam.
5. Setelah 5-7 hari, bokashi telah selesai terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk kompos.
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pupuk Kompos
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka diperoleh hasil bahwa Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobic. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonimb (2010) yang menyatakan bahwa Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik.
Dapat diketahui bahwa pembuatan pupuk kompos sangatlah mudah. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonima (2008) yang menyatakan bahwa proses pembuatan kompos sangat mudah dan dapat dilakukan dengan beragam cara. Setiap proses pengomposan cukup mudah diaplikasikan dan dapat diterapkan oleh siapa pun melalui proses aerobik. Sedangkan menurut Anonimb (2010), khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai.
Dimasa mendatang, penggunaan kompos sebagai sumber nutrisi tanaman akan sangat berarti dan memiliki prospek bisnis yang cerah. Pengunaan kompos sebagai penyedia unsur hara, tetapi lebih diutamakan untuk memperbaiki kondisi fisik tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat (Anonima, 2008) yang menyatakan bahwa penggunaan kompos sebagai sumber nutrisi tanaman akan sangat berarti dan memiliki prospek bisnis yang cerah. Kompos tidak hanya mengadung unsur hara makro (N, P, dan K) Unsur hara mikro (Fe, B, S dan Ca) pun terkandung lengkap di dalamnya walaupun diakui kandungan haranya lebih sedikit dibanding pupuk kimia. Namun bahan baku penyususn kompos melimpah ruah dan cara pempuatannya cukup sederhana. Penggunaan kompos tidak hanya sebagai penyedia unsure hara, tetapi lebih diutamakan untuk memperbaiki kondisi fisik tanah. Telah terbukti bahwa produk organik, terutana kompos, mampu menjaga keseimbangan alam.
Mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang cukup mudah. Sebenarnya dengan membiarkan begitu saja dikandang, dalam waktu tertentu, kotoran ternak akan berubah menjadi pupuk kandang. Namun, jika tidak ditangani dengan baik, hal ini akan menyebabkan pencemaran lingkungan dan penyusutan unsur hara dalam kotoran tersebut. Dengan demikian perlu adanya usaha untuk menanganinya. Cara yang sering dipergunakan untuk mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang ada dua macam, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup (Iwan, 2006).
B. Kandungan Unsur Hara Limbah Kotoran
Kandungan unsur hara yang terdapat pada limbah kotoran antara lain (Hadisuwito, 2007);
Tabel 1. Kandungan Unsur Hara Makro Kotoran Padat dan Cair Beberapa Jenis Ternak
Jenis Ternak | Jenis Kotoran | Kandungan Unsur Makro (%) | |||
N | Fospor | Kalium | Kalsium | ||
Kuda | Padat | 0,56 | 0,13 | 0,23 | 0,12 |
Cair | 1,24 | 0,004 | 1,26 | 0,32 | |
kerbau | Padat | 0,26 | 0,08 | 0,14 | 0,33 |
Cair | 0,62 | - | 1,34 | - | |
Domba | Padat | 0,65 | 0,22 | 0,14 | 0,33 |
Cair | 1,43 | 0.01 | 0,55 | 0,11 | |
Sapi | Padat | 0,33 | 0.11 | 0,13 | 0,26 |
Cair | 0,52 | 0,01 | 0,56 | 0,007 | |
Babi | Padat | 0,57 | 0,17 | 0,38 | 0,06 |
Cair | 0,31 | 0,05 | 0,81 | - |
Dari tabel diatas dapat diketahui perbandingan kandungan makro antara kotoran hewan yang berbentuk padat dan cair. Pada kotoran padat, kandungan nitrogen dan kaliumnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah persentase didalam kotoran cair.
Terjadinya perubahan-perubahan pada pupuk kompos karena terjadinya penguraian-penguraian, pengikatan dan pembebasan berbagai zat atau unsur hara selama berlangsungnya proses pembentukan kompos, antara lain (Sutedjo, 2008);
- Hidrat arang (selulosa, hemiselulosa dll) diurai menjadi CO2 dan air atau CH4 dan H2.
- Zat putih telur diurai melalui amida-amida, asam-asam amino, menjadi amoniak,CO2 dan air.
- Berjenis-jenis unsur hara, terutama N disamping P dan K dan lain-lain, sebagai hasil uraian, akan terikat dalam tubuh jasad renik dan sebagian yang tidak terikat ini kelak akan dikembalikan kedalam tanah setelah jasad-jasad renik mati.
- Ternyata pula unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik akan terbebas menjadi senyawa-senyawa anorganik sehingga tersedia didalam tanah bagi keperluan pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
- Lemak dan lilin pun akan terurai menjadi CO2 dan air.
Pupuk kandang sebagai limbah ternak banyak mengandung unsur hara makro seperti Nitrogen (N), Fospat (P2O5), Kalium (K2O) dan Air (H2O). Meskipun jumlahnya tidak banyak, dalam limbah ini juga terkandung unsur hara mikro diantaranya Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), dan Boron (Bo). Banyaknya kandungan unsur makro pada pupuk kandang membuat penggunaannya hanya dilakukan pada saat pemupukan dasar saja. Hal ini erat kaitannya dengan jumlah unsur makro yang dibutuhkan tanaman yang tidak boleh melebihi rasio C/N =12. Sehingga pupuk kandang yang memiliki rasio C/N tinggi yaitu + 25 kurang baik bila digunakan untuk menyuburkan tanaman secara langsung (Wibowo, 2010).
.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pupuk Kompos
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.
Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain
(Anonimb, 2010):
A. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
B. Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
C. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen(aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
D. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
E. Kelembaban (Moisture content)
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
F. Temperatur/suhu
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 - 60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
G. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
H. Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
I. Kandungan Bahan Berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
J. Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposakan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.
D. Hasil Pengukuran Pupuk Kompos
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Pengukuran Pupuk Kompos
Pengukuran | Suhu (oC) | Bau | Warna |
I | 66 | Khas | Coklat Tua |
II | 66 | Khas | Coklat Tua |
III | 67 | Khas | Coklat Tua |
IV | 65 | Khas | Coklat Tua |
V | 55 | Khas | Coklat Tua |
VI | 50 | Khas | Coklat Tua |
VII | 44 | Khas | Coklat Tua |
Sumber : Data Hasil Pengukuran Praktikum Manajemen Ternak Perah, 2010.
Pembahasan
Berdasarkan tabel 1 di atas, maka dapat diketahui bahwa pengukuran yang dilakukan sekali sehari tiap sore dalam satu minggu yakni dari pengukuran I sampai pengukuran VII, diperoleh suhu pupuk kompos semakin menurun dimana pengukuran I yang suhunya 66 oC turun menjadi 44 oC pada pengukuran VII. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonimb (2010) yang menyatakan bahwa Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 – 60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan mengenai Pembuatan Pupuk Kompos, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut;
1. Pupuk kompos merupakan hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik.
2. Pupuk kompos banyak mengandung unsur hara makro seperti Nitrogen (N), Fospat (P2O5), Kalium (K2O) dan Air (H2O). sedangkan kandungan unsur hara mikro diantaranya Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), dan Boron (Bo).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan antara lain Rasio C/N, Ukuran Partikel, Aerasi, Porositas, Kelembaban (Moisture content) , Temperatur/suhu, pH, Kandungan Hara, Kandungan Bahan Berbahaya dan Lama pengomposan.
4. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2008. Pemanfaatan Limbah Peternsksn untuk Kesuburan Tanah. http://www.tanindo.com/abdi9/hal3501.htm
Anonimb. 2010. Kompos. http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos-Kompos
Iwan. Ade. 2006. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya.
Hadisuwito. 2007. Membuat Pupuk Kompos. Agro Media.
Sutedjo. 2008. pupuk dan Cara Pemupukan. Rinaka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar